Pages

Senin, 20 Juni 2016

Pemimpin Ideal dari Sudut Pandang Melayu

Cermin Khasanah Melayu: Tinjauan Pemimpin Ideal dari Sudut Pandang Melayu
I. Pendahuluan
Enam puluh dua tahun sudah bangsa Indonesia “merdeka”. Perjalanan setengah abad tersebut seharusnya mampu membawa negara ini menuju arah yang lebih baik. Pembangunan-pembangunan terus digalakkan oleh pemerintah. Namun, seribu satu masalah tetap datang, sehingga negara yang dahulu disebut sebagai “Macan Asia”, kini terpuruk dalam segala aspek kehidupan. Indonesia sebagai negara besar yang disegani oleh masyarakat internasional, dihormati negara-negara Asia, dan ditakuti oleh anggota ASEAN kini menjadi dongeng yang memenuhi lembaran buku-buku pelajaran sekolah.
Martabat dan harga diri bangsa kini banyak dipertanyakan, jatidiri bangsa entah hilang ke mana.
Bangsa Indonesia semakin terpuruk tatkala para pemimpinnya berlomba-lomba memainkan peran buruk dalam dunia politik. Definisi politik sebagai pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan masyarakat umum secara menyeluruh tampak tak mendapat tempat di negeri ini.[1] Para elite politik tak lagi berusaha memperjuangkan kehidupan rakyat, melainkan berlomba-lomba menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Etika Politik hanya menjadi barang langka yang sulit ditemukan dalam wajah para politikus Indonesia. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan. Etika politik harus ditata ulang dan menjadi rule of the game dalam berpolitik. Indonesia harus bangkit dari segala keterpurukan.
Indonesia memiliki banyak tradisi dan adat istiadat luhur yang mengatur bagaimana seharusnya sistem politik berjalan. Salah satu tradisi luhur tersebut adalah khazanah budaya Melayu. Sebagai wilayah kultural yang memiliki sejarah masa lalu yang gemilang, Melayu menawarkan khazanah politik yang sangat baik. Latar belakang sejarah yang melahirkan beberapa kerajaan besar, membuat Melayu menjadi bangsa yang ulung dalam pemerintahan. Sistem pengetahuan, sistem pemerintahan, dan adat-istiadat terekam jelas dalam teks-teks dan berbagai khazanah tradisi Melayu klasik. Oleh karena itu, sangatlah tepat apabila kita kembali pada khazanah Melayu yang merupakan pembentuk karakter bangsa ini.[2]
II. Wajah Politik Indonesia Kini
Di tengah budaya paternalistik yang selama ini berkembang atau dikembangkan di Indonesia, masalah kepemimpinan politik menjadi agenda yang tidak kunjung usai. Alasannya, kepemimpinan politik yang kemudian diterjemahkan dalam watak budaya politik, mempengaruhi persepsi serta praktik bernegara dan berdemokrasi di negeri ini. Perbedaan pola kepemimpinan, budaya politik, dan hubungan kelembagaan yang ada selama ini menunjukkan semua itu. Menurut Ignas Kleden, selama ini masyarakat Indonesia telah terbiasa hidup dengan utopia. Dengan utopia itulah, bangsa ini mengarungi masa depan yang tidak pasti. Utopia tersebut merupakan akibat dari ulah para politisi yang tidak mengindahkan etika dalam berpolitik. Akibatnya, rakyat menjadi korban dan selalu dibayangi mimpi-mimpi semu tentang kesejahteraan yang sebenarnya hanyalah ilusi yang diciptakan para aktor politik.
Cerita-cerita seputar politisi Indonesia sebagian besar adalah cerita tentang keburukan dan kekalahan, yang berdampak pada keterpurukan dan kehancuran sebuah bangsa. Ironis, negara dengan kekayaan alam yang demikian melimpah terpuruk hanya karena ulah segelintir orang. Bangsa ini akhirnya terjerat kubangan the self-destroying nation, bangsa yang sedang menghancurkan diri sendiri[3]. Akhirnya, bukannya bangkit, bangsa ini malah terpuruk lebih dalam lagi ke jurang kehancuran yang nyata.
Mari kita tengok betapa menyoloknya penguasa dan politisi negeri ini mengamalkan gagasan-gagasan Machiavelli. Pertama, dalam rangka meraih kekuasaan. Machiavelli mengajarkan bahwa seseorang dapat melakukan cara apapun untuk meraih kekuasaan (the ends justify the means). Ia juga harus berhasil menarik hati, simpati, dan kepercayaan rakyat, karena dari tangan rakyatlah kekuasaan diperoleh. Oleh karena itu, seorang politisi dituntut untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk dapat menarik hati dan simpati rakyat dalam berbagai situasi dan kondisi. Dinamika sosial masyarakat Indonesia dimanfaatkan dengan jeli oleh para politisi. Pada kondisi di mana rakyat sangat 

membutuhkan seorang sosok pemimpin yang kuat dan tegas, yang dianggap mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa, tampillah pemimpin dan politisi yang berkarakter kuat seperti itu.
Pada kondisi di mana taraf berpikir rakyat stagnan, tampillah sosok politisi yang dianggap mampu membawa angin perubahan serta pembaharuan ekonomi dan politik. Pada kondisi sosial politik memungkinkan diterapkannya diktatorisme, tampillah sosok militer yang kemudian mendominasi institusi-institusi politik. Pada kondisi saat ini yang lebih bebas, tampillah politisi-politisi yang saling berlomba-lomba menarik simpati rakyat dengan beragam karakter yang ingin mereka tampilkan. Ada yang seolah-olah sangat dekat dan sangat peduli dengan rakyat, ada yang tampil dengan penampilan dan gaya bicara yang memikat, ada yang keberhasilannya dalam bisnis bisa menarik kepercayaan rakyat, dan lain sebagainya. Mereka pun berani mengeluarkan uang ratusan miliar demi kekuasaan yang didambakan itu. Bagi mereka, hal itu sudah wajar. Ibarat investasi, pastilah hasil yang diperoleh lebih besar dari modal yang dikeluarkan
Kebijakan penguasa cenderung tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka menjual aset-aset negara, menggadaikan sumber daya alam negeri ini, mencabut subsidi (baca: hak dasar warga negara), mementingkan kepentingan bisnis pribadinya, korupsi, menyelewengkan dana pembangunan, dan masih banyak lagi. Siapa sangka, semua citra yang mereka tampilkan di muka rakyat hanyalah demi meraih kekuasaan semata.
Kedua, dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Machiavelli mengajarkan bahwa seorang politisi harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia—tulus, penyayang, baik, pemurah—tetapi   juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tidak terpuji, jahat, kikir, licik, bengis, dan kejam. Machiavelli berpendapat bahwa penguasa negara bisa menggunakan cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawan politiknya. Ia juga bisa menggunakan sifat-sifat manusia untuk memelihara simpati rakyatnya. Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bisa menjadi singa (lion) di satu saat, dan rubah (fox) di saat yang lainn. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi, penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan singa yang mampu mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka dengan perangkap yang akan menjerat dirinya.
Tak heran banyak penguasa yang bermuka dua. Di depan rakyat, penguasa selalu bersikap manis, baik dan tulus, namun dibelakang rakyat, penguasa itu mengkhianatinya. Korupsi, tindakan asusila dan kriminal pejabat, baik di pusat maupun di daerah senantiasa menjadi headline di media-media cetak dan elektronik tanah air. Hal ini juga menjelaskan mengapa koalisi politik yang hanya seumur jagung. Artinya, begitu kepentingan pihak-pihak yang berkoalisi telah terpenuhi, maka bubar pula koalisi-koalisi politik itu. Atau koalisi politik juga bisa bubar karena masing-masing partai lebih mementingkan nasib partainya sendiri. Koalisi politik juga bisa terbentuk jika mereka memiliki musuh bersama (common enemy), begitu musuh bersama berhasil disingkirkan bubar pula koalisi-koalisi politik itu.
Ketiga, pemisahan agama dari kekuasaan. Machiavelli tidak anti agama. Ia malah menyarankan agar setiap penguasa mempertahankan dan memelihara ritual ibadah keagamaan dan senantiasa melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan cara itu, tambahnya, republik akan terbebas dari kebobrokan (korup), menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, mengendalikan tentara, menghasilkan orang-orang baik, dan menjaga persatuan.
Dengan pandangan seperti ini, agama akhirnya didudukkan pada wilayah di mana ketika ia dianggap memberikan manfaat bagi penguasa, maka ajaran agama akan dipakai. Jika dianggap tidak bermanfaat bagi kekuasaan (pemerintahan), agama tidak dipakai. Ini membuat praktik beragama akan tergantung pada selera penguasa. Bahkan, dapat digunakan sebagai justifikasi (pembenaran) kebijakan publik yang sebenarnya tidak bersumber dari agama tersebut.
Pemaparan di atas adalah cermin yang menampakkan betapa kacaunya wajah dunia politik negeri ini. Etika telah menjadi barang langka bagi aktor-aktor politik. Dunia politik seakan hanya menjadi arena panggung “dagelan” sandiwara semata. Dunia politik tak lagi menjadi sebuah metodologi komunikasi yang menempatkan kepentingan semua pihak sebagai poros utama proses politik, melainkan ruang unjuk kebolehan kelompok vis a vis negara ataupun individu vis a vis individu menunjukkan berbagai sifat inkonsistensi, anomali, dan kontradiksi dalam setiap tindakan. Ironi politik adalah ruang tempat para aktor politik berpura-pura dan memainkan peran palsu.


III. Menggali Khazanah Politik Melayu
Perjalanan bangsa Indonesia sejak beberapa abad yang lalu menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari kebudayaan Melayu.  Salah satu sumbangan terbesar adalah turut mewujudkan dan membentuk jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Tak berlebihan apabila akhirnya kebudayaan Melayu disebut sebagai akar jati diri bangsa ini. Pengaruh Melayu bagi bangsa Indonesia pada umumnya meliputi banyak hal, di antaranya adalah khazanah dalam budaya politik.
Sebuah kitab mahakarya budaya-politik-peradaban Melayu adalah Taj al-Salatin[4](Mahkota Raja-raja) karangan Bukhari al-Jauhari pada tahun 1630. Buku ini merupakan panduan untuk memerintah bagi raja-raja Melayu seperti Kedah dan Johor.
Kitab Taj al-Salatin memberi sumbangan penting bagi pembentukan tradisi dan kultur politik Melayu dengan memberi rincian tentang syarat-syarat menjadi raja (mencakup syarat yang bersifat jasmaniyah dan rohaniah). Kitab ini bahkan juga digunakan oleh beberapa penguasa di pulau Jawa pada abad 17-18. Taj al-Salatin begitu berpengaruh hingga abad ke-19 ketika Munsyi Abdullah mencoba mengenal atau mengetahui watak Raffles dari air mukanya berdasarkan ilmu firasat di dalam buku tersebut. Dalam bukunya Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Kelantan, Abdullah telah menasihatkan raja-raja di negeri itu supaya membaca Taj al-Salatin untuk mengetahui tanggung jawab sebagai raja.
Bukhari menggariskan ada 10 sifat raja atau pemerintah yang baik, sebagai berikut:
1.      Tahu membedakan baik dengan yang buruk.
2.      Berilmu.
3.      Mampu memilih menteri dan pembantunya dengan benar.
4.      Baik rupa dan budi pekertinya supaya dikasihi dan dihormati rakyatnya.
5.      Pemurah.
6.      Mengenang jasa orang atau tahu balas budi.
7.      Berani; jika berani maka pengikutnya juga akan berani.
8.      Cukup dalam makan tidur supaya tidak lalai.
9.      Mengurangi atau tidak berfoya-foya atau tidak “bermain” dengan perempuan.
10.  Laki-laki.[5]
Tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja dengan rakyat. Dalam beberapa hal pola ini bisa disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan. Kendati memang sangat simbolik, teks sejarah Melayu dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.
Etika para penguasa Melayu diturunkan dari konsep-konsep Islam.[6] Hal ini dikarenakan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Melayu. Keidentikkan Islam Melayu dan Melayu Islam menjadi sebuah identitas karakter yang hingga kini melekat dalam budaya Melayu. Nuansa Islam sangat kental mewarnai pola pemerintahan dalam budaya Melayu. Hal ini bisa dilihat dari salah satu penggalan kitab Sulalat al-Salatin berikut ini:
“Hai anakku, ketahui olehmu bahwa dunia ini tiada akan kekal adanya…melainkan iman…  adapun peninggalku ini hendaklah anakku berbuat ibadat sangat-sangat, jangan tiada sebenarnya, kerana segala hamba Allah semuanya terserah kepadamu. Jikalau kesukaran baginya hendaklah segera engkau tolong, jikalau teraniaya ia hendaklah segera engkau periksa baik-baik supaya di akherat jangan diberatkan Allah atasnya lehermu… syahadan hendaklah engkau muafakat dengan segala perdana menteri dan segala orang besar-besar, kerana raja-raja itu jikalau bagaimana sekalipun bijaksananya dan tahunya sekalipun, jikalau tiada ia muafakat dengan segala pegawai, tiada akan sentosa adanya, dan tiada akan dapat ia melakukan adilnya; rakyat itu umpama akar, raja itu umpama pohonnya, jikalau tiada akar-akar nescaya tiada akan dapat berdiri.”[7]
IV. Sifat Pemimpin Ideal
Dalam khazanah politik Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai orang yang diberi kelebihan untuk mengurus kepentingan orang banyak. Arti raja atau penguasa dimaknai oleh bangsa Melayu lewat pepatah lama:
Yang didahulukan selangkah
Yang ditinggikan seranting
Yang dilebihkan serambut
Yang dimuliakan sekuku
Pepatah tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa seorang raja haruslah sosok manusia yang dapat dijangkau oleh rakyat biasa. Penguasa harus berada di tengah-tengah rakyatnya, mengerti kondisi warganya, dan tahu apa yang diinginkan oleh mereka. Raja bukanlah dewa yang tak tersentuh oleh manusia, melainkan sosok yang hanya diberi beberapa kelebihan seperti di atas.
Lebih lanjut, khazanah politik Melayu juga memaparkan secara terperinci apa saja kriteria seorang pemimpin yang baik. Banyak pepatah lama dan karya-karya sastra berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pemaparan-pemaparan mengenai konsep kepemimpinan yang baik. Berikut ini adalah kriteria-kriteria pemimpin yang baik menurut konsep Politik Melayu:


A.Sebagai pemimpin banyak tahunya
Tahu duduk pada tempatnya
Tahu tegak pada layaknya
Tahu kata yang berpangkal
Tahu kata yang berpokok
Seorang pemimpin yang baik haruslah mempunyai banyak pengetahuan. Penguasa harus mengetahui bagaimana ia harus bersikap, bagaimana ia harus berfikir, bagaimana kondisi rakyat, dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penguasa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada sekaligus mencegah munculnya permasalahan baru. Tanpa pengetahuan yang memadai, sang penguasa akan kesulitan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. 
Pengetahuan mutlak diperlukan seorang pemimpin untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya. Pemerintahan hampir dapat dipastikan berjalan lancar apabila seorang raja mengetahui apa yang baik untuk rakyatnya dan apa yang harus dihindari karena tidak baik untuk rakyatnya. Penguasa akan mudah dalam memimpin apabila ia tahu apa yang harus dikerjakan dan apa yang tak boleh dilakukan. Tanpa pengetahuan, seorang pemimpin tak akan memiliki visi yang besar. Kalaupun ia memiliki visi besar, pastilah ia akan kesulitan merealisasikannya.


B. Sebagai pemimpin banyak tahannya
Tahan berhujan mau berpanas
Tahan bersusah berpenat lelah
Tahan berlenjin tak kering kain
Tahan berteruk sepepak teluk
Penggalan syair di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki mental “bertahan” yang baik. Ketabahan dan kesabaran menjadi salah satu sifat dari pemimpin ideal untuk menjamin tetap terjaganya komitmen dari sang pemimpin. Selain itu, sikap tawakkal juga dianjurkan di sini. Tawakkal berarti pasrah, namun bukan berarti menyerah pada masalah. Kepasrahan tersebut dilakukan setelah melakukan usaha yang maksimal. Dengan kata lain, orang Melayu memaknai terminologi tawakkal sebagai penyerahan hasil kepada Allah dari usaha yang dilakukan manusia.
Kritik-kritik tajam dan keluhan-keluhan akan banyak ditemui oleh seorang pemimpin. Terlebih apabila kekuasaannya memiliki oposan yang cukup kuat. Kritik tajam akan sangat tidak tepat apabila direspon dengan sikap arogan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah ketahanan untuk menerima semua itu dan memikirnya secara mendalam. Pemimpin yang buruk biasanya akan marah apabila dikritik. Ia akan mencari seribu dalih untuk menegasikan kritik tersebut. Bahkan, terkadang kritik-kritik tersebut ditanggapi dengan emosi. Lebih buruk lagi apabila kritik dianggap sebagai fitnah untuk menjatuhkannya. Pemimpin yang baik tidak melakukan semua itu. Ia akan menerima kritik dengan lapang dada dan menghargainya sebagai sebuah nasihat.


C. Sebagai pemimpin banyak bijaknya
Bijak menyukat sama papat
Bijak mengukur sama panjang
Bijak menimbang sama berat
Bijak memberi kata putus
Kebijakan adalah sifat yang mutlak harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Oleh karena itu, tradisi Melayu selalu memposisikan sifat bijak sebagai salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja atau penguasa. Kebijaksanaan sangat erat kaitannya dengan ketepatan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, akhirnya kebijaksanaan tersebut akan bermuara pada baik atau buruknya pemerintahan yang sedang berlangsung. Tanpa kebijakan, pemimpin akan mudah sekali terjerumus dalam tindakan dan keputusan yang sewenang-wenang.


D. Sebagai pemimpin banyak cerdiknya
Cerdiknya mengurung dengan lidah
Cerdik mengikat dengan adat
Cerdik menyimak dengan syarak
Cerdik berunding sama sebanding
Cerdik mufakat sama setingkat
Cerdik mengalah tidak kalah
Cerdik berlapang dalam sempit
Cerdik berlayar dalam perahu bocor
Cerdik duduk tidak suntuk
Cerdik tegak tidak bersundak
Selain memiliki pengetahuan yang cukup, seorang pemimpin harus mencerminkan diri sebagai orang yang cerdik. Kecerdikan di sini dapat diartikan sebagai proses pengolahan pengetahuan yang dimiliki untuk mencapai keputusan yang paling tepat dalam menangani masalah. Sebagai seorang pemimpin, ia pasti berkutat dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah kecerdikan untuk menghasilkan solusi yang tepat. Tanpa kecerdikan, seorang pemimpin akan rentan menghasilkan kebijakan yang tidak efekif. Kebijakan yang salah atau tidak efektif tentu akan berpengaruh pada berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan. Inilah yang menjadi alasan mengapa kecerdikan diperlukan dalam proses memimpin.


E. Sebagai pemimpin banyak pandainya
Pandai membaca tanda alamat
Pandai mengunut mengikuti jejak
Pandai menyimpan tidak berbau
Pandai mengunci dengan budi
Pengetahuan dan kecerdikan tidaklah lengkap apabila tidak dilengkapi dengan sifat pandai. Kepandaian dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kemampuan analisis yang baik terhadap masalah-masalah yang ada. Dengan ditunjang adanya pengetahuan yang cukup, ditambah dengan kepandaian dalam analisis, maka pemimpin harus cerdik dalam mengambil setiap keputusan. Analisis adalah bagian terpenting dalam usaha penyelesaian masalah. Oleh karena itu, kemampuan analisis yang baik sangat dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Pepatah lama mengatakan: “Bagi yang pandai, mana yang kusut akan selesai; orang yang pandai pantang memandai-mandai”. Tampak sekali bahwa kepandaian sangat berperan besar dalam mengurai “benang kusut”. Tanpa kepandaian, benang kusut tersebut takkan pernah selesai untuk diurai, kalaupun dapat dilakukan pastinya akan memakan waktu yang lama.


F. Sebagai pemimpin banyak arifnya
Di dalam tinggi ia rendah
Di dalam rendah ia tinggi
Pada jauh ianya dekat
Pada yang dekat ianya jauh
Arif dan bijak mungkin adalah dua kata yang memiliki makna yang sangat dekat. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang menyamakan dua kata tersebut. Namun, dalam konteks Melayu, dua kata tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Arif lebih merujuk kepada kemampuan pembawaan diri dalam proses sosialisasi, sedangkan bijaksana lebih mengarah kepada pengolahan pengetahuan dengan sebaik-baiknya. Seorang raja atau pemimpin akan lebih dihormati apabila ia memiki kearifan dalam bertindak. Kearifan yang dimiliki pemimpin akan menambah rasa kepercayaan rakyat bahwa ia memang benar-benar figur yang cocok untuk memimpin.


G. Sebagai pemimpin mulia budinya
Berkuasa tidak memaksa
Berpengetahuan tidak membodohkan
Berpangkat tidak menghambat
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk untuk melayani kepentingan masyarakat, bukan seseorang yang hanya diberi kekuasaan untuk memuaskan ambisi pribadinya. Oleh karena itu, bagi bangsa Melayu, sifat sewenang-wenang dalam memerintah pantang dilakukan oleh seorang pemimpin.


H. Sebagai pemimpin banyak relanya
Rela berkorban membela kawan
Rela dipapak membela yang hak
Rela mati membalas budi
Rela melangas karena tugas
Rela berbagi untung rugi
Rela beralah dalam menang
Rela berpenat menegakkan adat
Rela terkebat membela adat
Rela binasa membela bangsa
Pemimpin adalah seorang yang harus membela kepentingan rakyatnya. Ia harus rela untuk banyak hal demi terpenuhinya kepentingan warganya. Syair di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus rela sengsara demi membela hak, ia harus rela membela kawan meski harus berkorban. Ia juga harus rela dalam kesulitan ketika rakyatnya kesulitan, mengusahakan kebahagiaan untuk rakyatnya saat ia bahagia. Jiwa patriotisme juga ditanamkan di sini karena bela negara memang sangat dianjurkan. Bahkan, seorang pemimpin harus rela mati demi membela bangsanya, serta rela berpenat dan terkebat dalam membela adatnya. Bagaimanapun seorang pemimpin memang difungsikan sebagai orang yang bersedia berkorban demi orang banyak.
I. Sebagai pemimpin banyak ikhlasnya
Ikhlas menolong tak harap sanjung
Ikhlas berbudi tak harap puji
Ikhlas berkorban tak harap imbalan
Ikhlas bekerja tak harap upah
Ikhlas memberi tak harap ganti
Ikhlas mengajar tak harap ganjar
Ikhlas memerintah tak harap sembah
Terminologi rela memiliki pengertian yang berbeda dengan ikhlas. Bila rela adalah sebuah bentuk siap untuk berkorban, maka ikhlas lebih mengarah kepada pengelolaan niat. Hal ini sangat jelas disuarakan dalam pepatah lama: “Kalau pemimpin tidak ikhlas, banyaklah niat yang ‘kan terkandas”. Artinya, keikhlasan seorang pemimpin dalam bertindak akan sangat mempengaruhi outputdari proses pelaksanaan niat tersebut. Apabila seorang pemimpin tidak ikhlas, maka niat-niat baik yang ada tentunya akan hilang.


J. Sebagai pemimpin banyak taatnya
Taat dan takwa kepada Allah
Taat kepada janji dan sumpah
Taat memegang petua amanah
Taat memegang suruh dan teguh
Taat kepada putusan musyawarah
Taat memelihara tuah dan meruah
Taat membela negeri dan rakyatnya
Ketaatan bukan hanya sebagai kewajiban yang dimiliki oleh rakyat terhadap pemimpinnya, melainkan juga dimiliki oleh seorang pemimpin itu sendiri. Budaya politik Melayu menekankan pentingnya hubungan timbal balik yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin. Rakyat wajib menaati pemimpin, begitu pula sebaliknya. Raja harus menaati suara rakyat. Ia tak boleh mengabaikan aspirasi warganya, terlebih apabila suara itu adalah keputusan musyawarah. Ia harus taat pada kewajibannya untuk membela negara dan rakyatnya. Selain itu, yang paling penting juga adalah bahwa ia harus taat pada Allah, karena bagaimanapun Ia adalah perwakilan Allah di muka bumi.


K. Sebagai pemimpin mulia duduknya
Duduk mufakat menjunjung adat
Duduk bersama berlapang dada
Duduk berkawan tak tenggang rasa
Sikap dan sifat yang baik harus menjadi identitas seorang pemimpin. Kelakuan sehari-hari sang pemimpin mampu mencerminkan kepribadian yang baik. Inilah yang dimaksud dengan syair di atas, bahwa seorang raja harus memiliki tingkah laku yang baik sehingga tidak kehilangan kewibawaannya. Ia harus bersama-sama rakyat untuk menjunjung adat tanpa adanya perbedaan kewajiban. Kedudukannya sebagai pemimpin tak mengurangi sedikit pun untuk selalu menjunjung adatnya. Ia juga harus sering duduk bersama rakyatnya, dengan segala kebesaran hatinya mau menghilangkan kesombongan dan bersedia mendengarkan keluh kesah rakyatnya, sehingga akhirnya mampu bertenggang rasa. Kewibawaan akhirnya menjadi penilaian apakah ia seorang pemimpin yang baik atau buruk.


L. Sebagai pemimpin banyak sadarnya
Memimpin sedar yang ia pimpin
Mengajar sedar yang ia ajar
Memerintah sedar yang ia perintah
Menyuruh sedar yang ia suruh
Berdasarkan fenomena di banyak negara dan kerajaan, seorang pemimpin kerap menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan di sini tak hanya merujuk pada perbuatan yang menjurus pada pelampiasan ambisi pribadi, melainkan kesalahan dalam mengambil keputusan yang akhirnya menyusahkan rakyatnya. Banyak pemimpin yang tak mampu membaca situasi dan tak mengerti keadaan yang pasti, akhirnya terjerumus dalam persoalan yang lebih parah. Maka dari itu, seorang pemimpin harus benar-benar sadar apa yang ia lakukan, sadar tentang alasan dalam melakukannya, dan yang paling penting adalah sadar akan akibatnya.
Mungkin metode Socrates perlu diterapkan dalam hal ini.[8] Ia pernah mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu-tidaknya sebuah tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka menyusul pertanyaan kedua: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan? Metode tersebut sangatlah cocok untuk digunakan dalam melatih kesadaran seorang pemimpin dalam bertindak.


M. Sebagai pemimpin banyak tidaknya
Merendah tidak membuang meruah
Meninggi tidak membuang budi
Sayang tidak akan membinasakan
Kasih tidak merusakkan
Baik tidak mencelakakan
Elok tidak membutakan
Buruk tidak memuakkan
Jauh tidak melupakan
Dekat tidak bersinggungan
Petua tidak menyesatkan
Amanah tidak mengelirukan
Hak, tentunya, selalu disandingkan dengan kewajiban. Begitu pula halnya dengan sifat kepemimpinan. Berbagai pantangan harus dihindari demi sempurnanya pelaksanaan suatu kewajiban. Seorang pemimpin haruslah selalu memegang teguh kebaikan dan menghindari keburukan yang dapat merugikan rakyatnya. Pepatah lama mengatakan: “Sifat elok sama dipegang, sifat buruk sama dipantang. Elok dipegang, buruk dibuang.” Itu artinya seorang pemimpin haruslah hanya berpegang pada sifat-sifat yang baik saja dan harus membuang jauh-jauh sifat-sifat yang buruk. Raja sebagai “bayang-bayang” Tuhan di muka bumi haruslah mencerminkan sifat-sifat ketuhanan itu sendiri. Dalam konteks Melayu yang kental dengan nuansa Islam, Asmaul Husna harus menjadi pegangan dalam bertindak.
Uraian di atas adalah kriteria seseorang untuk dikatakan sebagai pemimpin ideal. Raja-raja Melayu banyak mencerminkan sifat-sifat tersebut. Namun, apabila melihat kondisi kekinian, para pemimpin negeri ini justru memperlihatkan sifat-sifat yang sebaliknya. Pantas saja bila akhirnya bangsa ini terburuk. Kondisi Indonesia kini sungguh tak mencerminkan kebesarannya sebagai sebuah bangsa yang besar.
Tampaknya, diperlukan sebuah pembelajaran politik bagi para politikus saat ini. Terlebih lagi, Pemilihan Umum 2009 sudah ada di depan mata. Khazanah politik Melayu seperti yang dipaparkan di atas dapat dijadikan rujukan untuk menanamkan nilai etika, kemudian mematrinya kuat-kuat dalam setiap hati dan pikiran inidividu-individu pelaku politik. Alangkah baiknya apabila sebelum terjun dalam proses demokrasi tersebut, para pemimpin dan calon pemimpin membaca, mempelajari, dan berusaha untuk mengamalkan khazanah etika politik Melayu.
Di sisi lain, pendidikan tentang budaya bangsa mesti harus terus digalakkan. Pendidikan mengenai etika politik yang bersumber pada budaya luhur bangsa cukup relevan untuk mengatasi hancurnya etika politik. Penggalian lebih dalam khazanah-khazanah Melayu patut dikembangkan mengingat begitu banyaknya kekayaan kultural yang terpendam. Tradisi sastra juga mesti mendapatkan tempat yang layak dalam pendidikan formal mengingat begitu banyak pelajaran yang diambil dari sana. Selama ini, sastra menjadi objek studi yang selalu kalah pamor dibandingkan Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, dan sejenisnya. Sudah saatnya, bangsa ini belajar kembali dari sejarahnya dan menghargai warisan sastra.
Taj-us Salatin, Salatus Salatin, Bustanul Salatin, Hikayat Hang Tuah, dan hikayat-hikayat lainnya terbukti memiliki kandungan nilai-nilai yang luhur. Sayangnya, karya-karya besar tersebut seringkali tersisihkan oleh karya-karya bangsa asing, sebut saja karya Il Principedari Machiavelli. Akibatnya, para politikus bangsa ini lebih banyak berkiblat pada budaya dan pemikiran luar. Ironis, bukannya sifat-sifat raja seperti yang diajarkan dalam Taj-us Salatin yang berkembang, melainkan sifat Machiavelian yang justru tumbuh subur.
V. Penutup
Moralitas harus dijunjung tinggi oleh penguasa yang memimpin. Banyaknya kebobrokan politik dan ekonomi di Indonesia disebabkan karena rendahnya moralitas yang dimiliki pemimpin; dalam kancah perpolitikan, etika dan kejujuran dalam berperilaku sehari-hari sudah tidak ada. Alhasil, banyak kerugian yang dialami oleh berbagai pihak; sedangkan keuntungan yang sifatnya sementara hanya dialami oleh sebagian kecil saja. Banyak pemimpin yang berkuasa ttapi sesungguhnya tidak memimpin. Sebab, memimpin berarti memberikan arah politik dan ekonomi yang jelas.
Khazanah Melayu sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika, termasuk etika politik. Sifat-sifat kepemimpinan yang ideal telah banyak dijabarkan dalam karya-karya sastra Melayu. Maka dari itu, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk menggali, mempelajari, dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia kini membutuhkan sosok pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan partai politik atau kelompok tertentu. Khazanah politik Melayu banyak menawarkan konsep kepemimpinan yang ideal tersebut.
Orang-orang Melayu di Indonesia kini merindukan sosok seperti Suman Hs. Tokoh kharismatik Riau tersebut dikenal sebagai sosok pemimpin yang berwibawa, bersahaja, dan sangat dekat dengan nilai-nilai kepemimpinan dalam khazanah Melayu. Kebersahajaannya dapat dilihat dari sikap berjalan yang terbungkuk-bungkuk, naik kendaraan sepeda yang buruk, dan masih banyak lagi. Pemimpin dalam konsep Melayu bukanlah berada di belakang sehingga ia ditinggalkan, tetapi di tengah-tengah rakyatnya. Pemimpin adalah seseorang yang mampu berkata: “Kalau aku ini adil sembahlah aku, kalau aku lalim sanggahlah aku”. [9]
Indonesia juga membutuhkan figur Raja Ali Haji yang dikenal mampu membangkitkan motivasi masyarakat dan umat. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan semangat kepada rakyatnya, bukan pemimpin yang menghasilkan sikap pesimis bagi rakyatnya.
Angka korupsi yang tinggi, kekerasan dalam pemilihan kepala daerah, pro-kontra seputar anti-pornografi dan pornoaksi, DPR yang tidak kritis, DPD yang mandul, pemerintah yang tuli dan buta terhadap penderitaan rakyat, memberi sinyal kuat bahwa politik Indonesia kita bermasalah, penuh kotoran, sampah, limbah, dan virus. Sejumlah patologi politik seperti ini memerlukan pembacaan kembali perihal visi politik, atau setidak-tidaknya revitalisasi sebagai cara untuk membongkar di mana sebetulnya kelemahan visi politik kita selama ini. Khazanah Melayu dapat menjadi metode sekaligus referensi untuk menyelesaikan kemelut dan berbagai permasalahan Indonesia saat ini


membutuhkan seorang sosok pemimpin yang kuat dan tegas, yang dianggap mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa, tampillah pemimpin dan politisi yang berkarakter kuat seperti itu.
Pada kondisi di mana taraf berpikir rakyat stagnan, tampillah sosok politisi yang dianggap mampu membawa angin perubahan serta pembaharuan ekonomi dan politik. Pada kondisi sosial politik memungkinkan diterapkannya diktatorisme, tampillah sosok militer yang kemudian mendominasi institusi-institusi politik. Pada kondisi saat ini yang lebih bebas, tampillah politisi-politisi yang saling berlomba-lomba menarik simpati rakyat dengan beragam karakter yang ingin mereka tampilkan. Ada yang seolah-olah sangat dekat dan sangat peduli dengan rakyat, ada yang tampil dengan penampilan dan gaya bicara yang memikat, ada yang keberhasilannya dalam bisnis bisa menarik kepercayaan rakyat, dan lain sebagainya. Mereka pun berani mengeluarkan uang ratusan miliar demi kekuasaan yang didambakan itu. Bagi mereka, hal itu sudah wajar. Ibarat investasi, pastilah hasil yang diperoleh lebih besar dari modal yang dikeluarkan
Kebijakan penguasa cenderung tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka menjual aset-aset negara, menggadaikan sumber daya alam negeri ini, mencabut subsidi (baca: hak dasar warga negara), mementingkan kepentingan bisnis pribadinya, korupsi, menyelewengkan dana pembangunan, dan masih banyak lagi. Siapa sangka, semua citra yang mereka tampilkan di muka rakyat hanyalah demi meraih kekuasaan semata.
Kedua, dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Machiavelli mengajarkan bahwa seorang politisi harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia—tulus, penyayang, baik, pemurah—tetapi   juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tidak terpuji, jahat, kikir, licik, bengis, dan kejam. Machiavelli berpendapat bahwa penguasa negara bisa menggunakan cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawan politiknya. Ia juga bisa menggunakan sifat-sifat manusia untuk memelihara simpati rakyatnya. Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bisa menjadi singa (lion) di satu saat, dan rubah (fox) di saat yang lainn. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi, penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan singa yang mampu mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka dengan perangkap yang akan menjerat dirinya.
Tak heran banyak penguasa yang bermuka dua. Di depan rakyat, penguasa selalu bersikap manis, baik dan tulus, namun dibelakang rakyat, penguasa itu mengkhianatinya. Korupsi, tindakan asusila dan kriminal pejabat, baik di pusat maupun di daerah senantiasa menjadi headline di media-media cetak dan elektronik tanah air. Hal ini juga menjelaskan mengapa koalisi politik yang hanya seumur jagung. Artinya, begitu kepentingan pihak-pihak yang berkoalisi telah terpenuhi, maka bubar pula koalisi-koalisi politik itu. Atau koalisi politik juga bisa bubar karena masing-masing partai lebih mementingkan nasib partainya sendiri. Koalisi politik juga bisa terbentuk jika mereka memiliki musuh bersama (common enemy), begitu musuh bersama berhasil disingkirkan bubar pula koalisi-koalisi politik itu.
Ketiga, pemisahan agama dari kekuasaan. Machiavelli tidak anti agama. Ia malah menyarankan agar setiap penguasa mempertahankan dan memelihara ritual ibadah keagamaan dan senantiasa melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan cara itu, tambahnya, republik akan terbebas dari kebobrokan (korup), menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, mengendalikan tentara, menghasilkan orang-orang baik, dan menjaga persatuan.
Dengan pandangan seperti ini, agama akhirnya didudukkan pada wilayah di mana ketika ia dianggap memberikan manfaat bagi penguasa, maka ajaran agama akan dipakai. Jika dianggap tidak bermanfaat bagi kekuasaan (pemerintahan), agama tidak dipakai. Ini membuat praktik beragama akan tergantung pada selera penguasa. Bahkan, dapat digunakan sebagai justifikasi (pembenaran) kebijakan publik yang sebenarnya tidak bersumber dari agama tersebut.
Pemaparan di atas adalah cermin yang menampakkan betapa kacaunya wajah dunia politik negeri ini. Etika telah menjadi barang langka bagi aktor-aktor politik. Dunia politik seakan hanya menjadi arena panggung “dagelan” sandiwara semata. Dunia politik tak lagi menjadi sebuah metodologi komunikasi yang menempatkan kepentingan semua pihak sebagai poros utama proses politik, melainkan ruang unjuk kebolehan kelompok vis a vis negara ataupun individu vis a vis individu menunjukkan berbagai sifat inkonsistensi, anomali, dan kontradiksi dalam setiap tindakan. Ironi politik adalah ruang tempat para aktor politik berpura-pura dan memainkan peran palsu.


III. Menggali Khazanah Politik Melayu
Perjalanan bangsa Indonesia sejak beberapa abad yang lalu menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari kebudayaan Melayu.  Salah satu sumbangan terbesar adalah turut mewujudkan dan membentuk jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Tak berlebihan apabila akhirnya kebudayaan Melayu disebut sebagai akar jati diri bangsa ini. Pengaruh Melayu bagi bangsa Indonesia pada umumnya meliputi banyak hal, di antaranya adalah khazanah dalam budaya politik.
Sebuah kitab mahakarya budaya-politik-peradaban Melayu adalah Taj al-Salatin[4](Mahkota Raja-raja) karangan Bukhari al-Jauhari pada tahun 1630. Buku ini merupakan panduan untuk memerintah bagi raja-raja Melayu seperti Kedah dan Johor.
Kitab Taj al-Salatin memberi sumbangan penting bagi pembentukan tradisi dan kultur politik Melayu dengan memberi rincian tentang syarat-syarat menjadi raja (mencakup syarat yang bersifat jasmaniyah dan rohaniah). Kitab ini bahkan juga digunakan oleh beberapa penguasa di pulau Jawa pada abad 17-18. Taj al-Salatin begitu berpengaruh hingga abad ke-19 ketika Munsyi Abdullah mencoba mengenal atau mengetahui watak Raffles dari air mukanya berdasarkan ilmu firasat di dalam buku tersebut. Dalam bukunya Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Kelantan, Abdullah telah menasihatkan raja-raja di negeri itu supaya membaca Taj al-Salatin untuk mengetahui tanggung jawab sebagai raja.
Bukhari menggariskan ada 10 sifat raja atau pemerintah yang baik, sebagai berikut:
1.      Tahu membedakan baik dengan yang buruk.
2.      Berilmu.
3.      Mampu memilih menteri dan pembantunya dengan benar.
4.      Baik rupa dan budi pekertinya supaya dikasihi dan dihormati rakyatnya.
5.      Pemurah.
6.      Mengenang jasa orang atau tahu balas budi.
7.      Berani; jika berani maka pengikutnya juga akan berani.
8.      Cukup dalam makan tidur supaya tidak lalai.
9.      Mengurangi atau tidak berfoya-foya atau tidak “bermain” dengan perempuan.
10.  Laki-laki.[5]
Tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja dengan rakyat. Dalam beberapa hal pola ini bisa disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan. Kendati memang sangat simbolik, teks sejarah Melayu dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.
Etika para penguasa Melayu diturunkan dari konsep-konsep Islam.[6] Hal ini dikarenakan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Melayu. Keidentikkan Islam Melayu dan Melayu Islam menjadi sebuah identitas karakter yang hingga kini melekat dalam budaya Melayu. Nuansa Islam sangat kental mewarnai pola pemerintahan dalam budaya Melayu. Hal ini bisa dilihat dari salah satu penggalan kitab Sulalat al-Salatin berikut ini:
“Hai anakku, ketahui olehmu bahwa dunia ini tiada akan kekal adanya…melainkan iman…  adapun peninggalku ini hendaklah anakku berbuat ibadat sangat-sangat, jangan tiada sebenarnya, kerana segala hamba Allah semuanya terserah kepadamu. Jikalau kesukaran baginya hendaklah segera engkau tolong, jikalau teraniaya ia hendaklah segera engkau periksa baik-baik supaya di akherat jangan diberatkan Allah atasnya lehermu… syahadan hendaklah engkau muafakat dengan segala perdana menteri dan segala orang besar-besar, kerana raja-raja itu jikalau bagaimana sekalipun bijaksananya dan tahunya sekalipun, jikalau tiada ia muafakat dengan segala pegawai, tiada akan sentosa adanya, dan tiada akan dapat ia melakukan adilnya; rakyat itu umpama akar, raja itu umpama pohonnya, jikalau tiada akar-akar nescaya tiada akan dapat berdiri.”[7]
IV. Sifat Pemimpin Ideal
Dalam khazanah politik Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai orang yang diberi kelebihan untuk mengurus kepentingan orang banyak. Arti raja atau penguasa dimaknai oleh bangsa Melayu lewat pepatah lama:
Yang didahulukan selangkah
Yang ditinggikan seranting
Yang dilebihkan serambut
Yang dimuliakan sekuku
Pepatah tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa seorang raja haruslah sosok manusia yang dapat dijangkau oleh rakyat biasa. Penguasa harus berada di tengah-tengah rakyatnya, mengerti kondisi warganya, dan tahu apa yang diinginkan oleh mereka. Raja bukanlah dewa yang tak tersentuh oleh manusia, melainkan sosok yang hanya diberi beberapa kelebihan seperti di atas.
Lebih lanjut, khazanah politik Melayu juga memaparkan secara terperinci apa saja kriteria seorang pemimpin yang baik. Banyak pepatah lama dan karya-karya sastra berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pemaparan-pemaparan mengenai konsep kepemimpinan yang baik. Berikut ini adalah kriteria-kriteria pemimpin yang baik menurut konsep Politik Melayu:


A.Sebagai pemimpin banyak tahunya
Tahu duduk pada tempatnya
Tahu tegak pada layaknya
Tahu kata yang berpangkal
Tahu kata yang berpokok
Seorang pemimpin yang baik haruslah mempunyai banyak pengetahuan. Penguasa harus mengetahui bagaimana ia harus bersikap, bagaimana ia harus berfikir, bagaimana kondisi rakyat, dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penguasa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada sekaligus mencegah munculnya permasalahan baru. Tanpa pengetahuan yang memadai, sang penguasa akan kesulitan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. 
Pengetahuan mutlak diperlukan seorang pemimpin untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya. Pemerintahan hampir dapat dipastikan berjalan lancar apabila seorang raja mengetahui apa yang baik untuk rakyatnya dan apa yang harus dihindari karena tidak baik untuk rakyatnya. Penguasa akan mudah dalam memimpin apabila ia tahu apa yang harus dikerjakan dan apa yang tak boleh dilakukan. Tanpa pengetahuan, seorang pemimpin tak akan memiliki visi yang besar. Kalaupun ia memiliki visi besar, pastilah ia akan kesulitan merealisasikannya.


B. Sebagai pemimpin banyak tahannya
Tahan berhujan mau berpanas
Tahan bersusah berpenat lelah
Tahan berlenjin tak kering kain
Tahan berteruk sepepak teluk
Penggalan syair di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki mental “bertahan” yang baik. Ketabahan dan kesabaran menjadi salah satu sifat dari pemimpin ideal untuk menjamin tetap terjaganya komitmen dari sang pemimpin. Selain itu, sikap tawakkal juga dianjurkan di sini. Tawakkal berarti pasrah, namun bukan berarti menyerah pada masalah. Kepasrahan tersebut dilakukan setelah melakukan usaha yang maksimal. Dengan kata lain, orang Melayu memaknai terminologi tawakkal sebagai penyerahan hasil kepada Allah dari usaha yang dilakukan manusia.
Kritik-kritik tajam dan keluhan-keluhan akan banyak ditemui oleh seorang pemimpin. Terlebih apabila kekuasaannya memiliki oposan yang cukup kuat. Kritik tajam akan sangat tidak tepat apabila direspon dengan sikap arogan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah ketahanan untuk menerima semua itu dan memikirnya secara mendalam. Pemimpin yang buruk biasanya akan marah apabila dikritik. Ia akan mencari seribu dalih untuk menegasikan kritik tersebut. Bahkan, terkadang kritik-kritik tersebut ditanggapi dengan emosi. Lebih buruk lagi apabila kritik dianggap sebagai fitnah untuk menjatuhkannya. Pemimpin yang baik tidak melakukan semua itu. Ia akan menerima kritik dengan lapang dada dan menghargainya sebagai sebuah nasihat.


C. Sebagai pemimpin banyak bijaknya
Bijak menyukat sama papat
Bijak mengukur sama panjang
Bijak menimbang sama berat
Bijak memberi kata putus
Kebijakan adalah sifat yang mutlak harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Oleh karena itu, tradisi Melayu selalu memposisikan sifat bijak sebagai salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja atau penguasa. Kebijaksanaan sangat erat kaitannya dengan ketepatan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, akhirnya kebijaksanaan tersebut akan bermuara pada baik atau buruknya pemerintahan yang sedang berlangsung. Tanpa kebijakan, pemimpin akan mudah sekali terjerumus dalam tindakan dan keputusan yang sewenang-wenang.


D. Sebagai pemimpin banyak cerdiknya
Cerdiknya mengurung dengan lidah
Cerdik mengikat dengan adat
Cerdik menyimak dengan syarak
Cerdik berunding sama sebanding
Cerdik mufakat sama setingkat
Cerdik mengalah tidak kalah
Cerdik berlapang dalam sempit
Cerdik berlayar dalam perahu bocor
Cerdik duduk tidak suntuk
Cerdik tegak tidak bersundak
Selain memiliki pengetahuan yang cukup, seorang pemimpin harus mencerminkan diri sebagai orang yang cerdik. Kecerdikan di sini dapat diartikan sebagai proses pengolahan pengetahuan yang dimiliki untuk mencapai keputusan yang paling tepat dalam menangani masalah. Sebagai seorang pemimpin, ia pasti berkutat dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah kecerdikan untuk menghasilkan solusi yang tepat. Tanpa kecerdikan, seorang pemimpin akan rentan menghasilkan kebijakan yang tidak efekif. Kebijakan yang salah atau tidak efektif tentu akan berpengaruh pada berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan. Inilah yang menjadi alasan mengapa kecerdikan diperlukan dalam proses memimpin.


E. Sebagai pemimpin banyak pandainya
Pandai membaca tanda alamat
Pandai mengunut mengikuti jejak
Pandai menyimpan tidak berbau
Pandai mengunci dengan budi
Pengetahuan dan kecerdikan tidaklah lengkap apabila tidak dilengkapi dengan sifat pandai. Kepandaian dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kemampuan analisis yang baik terhadap masalah-masalah yang ada. Dengan ditunjang adanya pengetahuan yang cukup, ditambah dengan kepandaian dalam analisis, maka pemimpin harus cerdik dalam mengambil setiap keputusan. Analisis adalah bagian terpenting dalam usaha penyelesaian masalah. Oleh karena itu, kemampuan analisis yang baik sangat dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Pepatah lama mengatakan: “Bagi yang pandai, mana yang kusut akan selesai; orang yang pandai pantang memandai-mandai”. Tampak sekali bahwa kepandaian sangat berperan besar dalam mengurai “benang kusut”. Tanpa kepandaian, benang kusut tersebut takkan pernah selesai untuk diurai, kalaupun dapat dilakukan pastinya akan memakan waktu yang lama.


F. Sebagai pemimpin banyak arifnya
Di dalam tinggi ia rendah
Di dalam rendah ia tinggi
Pada jauh ianya dekat
Pada yang dekat ianya jauh
Arif dan bijak mungkin adalah dua kata yang memiliki makna yang sangat dekat. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang menyamakan dua kata tersebut. Namun, dalam konteks Melayu, dua kata tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Arif lebih merujuk kepada kemampuan pembawaan diri dalam proses sosialisasi, sedangkan bijaksana lebih mengarah kepada pengolahan pengetahuan dengan sebaik-baiknya. Seorang raja atau pemimpin akan lebih dihormati apabila ia memiki kearifan dalam bertindak. Kearifan yang dimiliki pemimpin akan menambah rasa kepercayaan rakyat bahwa ia memang benar-benar figur yang cocok untuk memimpin.


G. Sebagai pemimpin mulia budinya
Berkuasa tidak memaksa
Berpengetahuan tidak membodohkan
Berpangkat tidak menghambat
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk untuk melayani kepentingan masyarakat, bukan seseorang yang hanya diberi kekuasaan untuk memuaskan ambisi pribadinya. Oleh karena itu, bagi bangsa Melayu, sifat sewenang-wenang dalam memerintah pantang dilakukan oleh seorang pemimpin.


H. Sebagai pemimpin banyak relanya
Rela berkorban membela kawan
Rela dipapak membela yang hak
Rela mati membalas budi
Rela melangas karena tugas
Rela berbagi untung rugi
Rela beralah dalam menang
Rela berpenat menegakkan adat
Rela terkebat membela adat
Rela binasa membela bangsa
Pemimpin adalah seorang yang harus membela kepentingan rakyatnya. Ia harus rela untuk banyak hal demi terpenuhinya kepentingan warganya. Syair di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus rela sengsara demi membela hak, ia harus rela membela kawan meski harus berkorban. Ia juga harus rela dalam kesulitan ketika rakyatnya kesulitan, mengusahakan kebahagiaan untuk rakyatnya saat ia bahagia. Jiwa patriotisme juga ditanamkan di sini karena bela negara memang sangat dianjurkan. Bahkan, seorang pemimpin harus rela mati demi membela bangsanya, serta rela berpenat dan terkebat dalam membela adatnya. Bagaimanapun seorang pemimpin memang difungsikan sebagai orang yang bersedia berkorban demi orang banyak.
I. Sebagai pemimpin banyak ikhlasnya
Ikhlas menolong tak harap sanjung
Ikhlas berbudi tak harap puji
Ikhlas berkorban tak harap imbalan
Ikhlas bekerja tak harap upah
Ikhlas memberi tak harap ganti
Ikhlas mengajar tak harap ganjar
Ikhlas memerintah tak harap sembah
Terminologi rela memiliki pengertian yang berbeda dengan ikhlas. Bila rela adalah sebuah bentuk siap untuk berkorban, maka ikhlas lebih mengarah kepada pengelolaan niat. Hal ini sangat jelas disuarakan dalam pepatah lama: “Kalau pemimpin tidak ikhlas, banyaklah niat yang ‘kan terkandas”. Artinya, keikhlasan seorang pemimpin dalam bertindak akan sangat mempengaruhi outputdari proses pelaksanaan niat tersebut. Apabila seorang pemimpin tidak ikhlas, maka niat-niat baik yang ada tentunya akan hilang.


J. Sebagai pemimpin banyak taatnya
Taat dan takwa kepada Allah
Taat kepada janji dan sumpah
Taat memegang petua amanah
Taat memegang suruh dan teguh
Taat kepada putusan musyawarah
Taat memelihara tuah dan meruah
Taat membela negeri dan rakyatnya
Ketaatan bukan hanya sebagai kewajiban yang dimiliki oleh rakyat terhadap pemimpinnya, melainkan juga dimiliki oleh seorang pemimpin itu sendiri. Budaya politik Melayu menekankan pentingnya hubungan timbal balik yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin. Rakyat wajib menaati pemimpin, begitu pula sebaliknya. Raja harus menaati suara rakyat. Ia tak boleh mengabaikan aspirasi warganya, terlebih apabila suara itu adalah keputusan musyawarah. Ia harus taat pada kewajibannya untuk membela negara dan rakyatnya. Selain itu, yang paling penting juga adalah bahwa ia harus taat pada Allah, karena bagaimanapun Ia adalah perwakilan Allah di muka bumi.


K. Sebagai pemimpin mulia duduknya
Duduk mufakat menjunjung adat
Duduk bersama berlapang dada
Duduk berkawan tak tenggang rasa
Sikap dan sifat yang baik harus menjadi identitas seorang pemimpin. Kelakuan sehari-hari sang pemimpin mampu mencerminkan kepribadian yang baik. Inilah yang dimaksud dengan syair di atas, bahwa seorang raja harus memiliki tingkah laku yang baik sehingga tidak kehilangan kewibawaannya. Ia harus bersama-sama rakyat untuk menjunjung adat tanpa adanya perbedaan kewajiban. Kedudukannya sebagai pemimpin tak mengurangi sedikit pun untuk selalu menjunjung adatnya. Ia juga harus sering duduk bersama rakyatnya, dengan segala kebesaran hatinya mau menghilangkan kesombongan dan bersedia mendengarkan keluh kesah rakyatnya, sehingga akhirnya mampu bertenggang rasa. Kewibawaan akhirnya menjadi penilaian apakah ia seorang pemimpin yang baik atau buruk.


L. Sebagai pemimpin banyak sadarnya
Memimpin sedar yang ia pimpin
Mengajar sedar yang ia ajar
Memerintah sedar yang ia perintah
Menyuruh sedar yang ia suruh
Berdasarkan fenomena di banyak negara dan kerajaan, seorang pemimpin kerap menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan di sini tak hanya merujuk pada perbuatan yang menjurus pada pelampiasan ambisi pribadi, melainkan kesalahan dalam mengambil keputusan yang akhirnya menyusahkan rakyatnya. Banyak pemimpin yang tak mampu membaca situasi dan tak mengerti keadaan yang pasti, akhirnya terjerumus dalam persoalan yang lebih parah. Maka dari itu, seorang pemimpin harus benar-benar sadar apa yang ia lakukan, sadar tentang alasan dalam melakukannya, dan yang paling penting adalah sadar akan akibatnya.
Mungkin metode Socrates perlu diterapkan dalam hal ini.[8] Ia pernah mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu-tidaknya sebuah tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka menyusul pertanyaan kedua: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan? Metode tersebut sangatlah cocok untuk digunakan dalam melatih kesadaran seorang pemimpin dalam bertindak.


M. Sebagai pemimpin banyak tidaknya
Merendah tidak membuang meruah
Meninggi tidak membuang budi
Sayang tidak akan membinasakan
Kasih tidak merusakkan
Baik tidak mencelakakan
Elok tidak membutakan
Buruk tidak memuakkan
Jauh tidak melupakan
Dekat tidak bersinggungan
Petua tidak menyesatkan
Amanah tidak mengelirukan
Hak, tentunya, selalu disandingkan dengan kewajiban. Begitu pula halnya dengan sifat kepemimpinan. Berbagai pantangan harus dihindari demi sempurnanya pelaksanaan suatu kewajiban. Seorang pemimpin haruslah selalu memegang teguh kebaikan dan menghindari keburukan yang dapat merugikan rakyatnya. Pepatah lama mengatakan: “Sifat elok sama dipegang, sifat buruk sama dipantang. Elok dipegang, buruk dibuang.” Itu artinya seorang pemimpin haruslah hanya berpegang pada sifat-sifat yang baik saja dan harus membuang jauh-jauh sifat-sifat yang buruk. Raja sebagai “bayang-bayang” Tuhan di muka bumi haruslah mencerminkan sifat-sifat ketuhanan itu sendiri. Dalam konteks Melayu yang kental dengan nuansa Islam, Asmaul Husna harus menjadi pegangan dalam bertindak.
Uraian di atas adalah kriteria seseorang untuk dikatakan sebagai pemimpin ideal. Raja-raja Melayu banyak mencerminkan sifat-sifat tersebut. Namun, apabila melihat kondisi kekinian, para pemimpin negeri ini justru memperlihatkan sifat-sifat yang sebaliknya. Pantas saja bila akhirnya bangsa ini terburuk. Kondisi Indonesia kini sungguh tak mencerminkan kebesarannya sebagai sebuah bangsa yang besar.
Tampaknya, diperlukan sebuah pembelajaran politik bagi para politikus saat ini. Terlebih lagi, Pemilihan Umum 2009 sudah ada di depan mata. Khazanah politik Melayu seperti yang dipaparkan di atas dapat dijadikan rujukan untuk menanamkan nilai etika, kemudian mematrinya kuat-kuat dalam setiap hati dan pikiran inidividu-individu pelaku politik. Alangkah baiknya apabila sebelum terjun dalam proses demokrasi tersebut, para pemimpin dan calon pemimpin membaca, mempelajari, dan berusaha untuk mengamalkan khazanah etika politik Melayu.
Di sisi lain, pendidikan tentang budaya bangsa mesti harus terus digalakkan. Pendidikan mengenai etika politik yang bersumber pada budaya luhur bangsa cukup relevan untuk mengatasi hancurnya etika politik. Penggalian lebih dalam khazanah-khazanah Melayu patut dikembangkan mengingat begitu banyaknya kekayaan kultural yang terpendam. Tradisi sastra juga mesti mendapatkan tempat yang layak dalam pendidikan formal mengingat begitu banyak pelajaran yang diambil dari sana. Selama ini, sastra menjadi objek studi yang selalu kalah pamor dibandingkan Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, dan sejenisnya. Sudah saatnya, bangsa ini belajar kembali dari sejarahnya dan menghargai warisan sastra.
Taj-us Salatin, Salatus Salatin, Bustanul Salatin, Hikayat Hang Tuah, dan hikayat-hikayat lainnya terbukti memiliki kandungan nilai-nilai yang luhur. Sayangnya, karya-karya besar tersebut seringkali tersisihkan oleh karya-karya bangsa asing, sebut saja karya Il Principedari Machiavelli. Akibatnya, para politikus bangsa ini lebih banyak berkiblat pada budaya dan pemikiran luar. Ironis, bukannya sifat-sifat raja seperti yang diajarkan dalam Taj-us Salatin yang berkembang, melainkan sifat Machiavelian yang justru tumbuh subur.
V. Penutup
Moralitas harus dijunjung tinggi oleh penguasa yang memimpin. Banyaknya kebobrokan politik dan ekonomi di Indonesia disebabkan karena rendahnya moralitas yang dimiliki pemimpin; dalam kancah perpolitikan, etika dan kejujuran dalam berperilaku sehari-hari sudah tidak ada. Alhasil, banyak kerugian yang dialami oleh berbagai pihak; sedangkan keuntungan yang sifatnya sementara hanya dialami oleh sebagian kecil saja. Banyak pemimpin yang berkuasa ttapi sesungguhnya tidak memimpin. Sebab, memimpin berarti memberikan arah politik dan ekonomi yang jelas.
Khazanah Melayu sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika, termasuk etika politik. Sifat-sifat kepemimpinan yang ideal telah banyak dijabarkan dalam karya-karya sastra Melayu. Maka dari itu, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk menggali, mempelajari, dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia kini membutuhkan sosok pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan partai politik atau kelompok tertentu. Khazanah politik Melayu banyak menawarkan konsep kepemimpinan yang ideal tersebut.
Orang-orang Melayu di Indonesia kini merindukan sosok seperti Suman Hs. Tokoh kharismatik Riau tersebut dikenal sebagai sosok pemimpin yang berwibawa, bersahaja, dan sangat dekat dengan nilai-nilai kepemimpinan dalam khazanah Melayu. Kebersahajaannya dapat dilihat dari sikap berjalan yang terbungkuk-bungkuk, naik kendaraan sepeda yang buruk, dan masih banyak lagi. Pemimpin dalam konsep Melayu bukanlah berada di belakang sehingga ia ditinggalkan, tetapi di tengah-tengah rakyatnya. Pemimpin adalah seseorang yang mampu berkata: “Kalau aku ini adil sembahlah aku, kalau aku lalim sanggahlah aku”. [9]
Indonesia juga membutuhkan figur Raja Ali Haji yang dikenal mampu membangkitkan motivasi masyarakat dan umat. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan semangat kepada rakyatnya, bukan pemimpin yang menghasilkan sikap pesimis bagi rakyatnya.
Angka korupsi yang tinggi, kekerasan dalam pemilihan kepala daerah, pro-kontra seputar anti-pornografi dan pornoaksi, DPR yang tidak kritis, DPD yang mandul, pemerintah yang tuli dan buta terhadap penderitaan rakyat, memberi sinyal kuat bahwa politik Indonesia kita bermasalah, penuh kotoran, sampah, limbah, dan virus. Sejumlah patologi politik seperti ini memerlukan pembacaan kembali perihal visi politik, atau setidak-tidaknya revitalisasi sebagai cara untuk membongkar di mana sebetulnya kelemahan visi politik kita selama ini. Khazanah Melayu dapat menjadi metode sekaligus referensi untuk menyelesaikan kemelut dan berbagai permasalahan Indonesia saat ini


 

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net